Mediasi Capai Kesepakatan, Amarta Honda Motor Janji Lunasi Hak Mantan Pimpinan Cabang Amarta Sayap Merah Padalarang
Bandung, Koranpatroli.com
Persoalan antara PT Amartha Sayap merah dengan mantan Kepala Cabang nya yang bertugas di Cabang Amarta Padalarang, Rendy akhirnya menemukan titik terang kesempatan.
Setelah sempat mencuat ke publik sebagai dugaan pelanggaran hak normatif, kini kedua belah pihak sepakat menyelesaikan perkara melalui mediasi resmi yang difasilitasi Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kabupaten Bandung Barat (KBB).
Human Resource Development (HRD) Honda Amarta Padalarang, Kiki menyampaikan, konflik yang menyeret nama perusahaan bukanlah soal substansi gaji pokok, melainkan murni kesalahpahaman komunikasi.
"Alhamdulillah masalah dengan Pak Rendi sudah diselesaikan secara baik-baik. Terima kasih kepada pihak Disnaker KBB yang sudah memfasilitasi. Persoalan ini sebenarnya hanya miskomunikasi. Hak gaji pun sudah dibayarkan," ujar Kiki Senin, 29 September 2025.
Namun, fakta yang diungkap Rendi justru memberikan gambaran lebih detail mengenai akar persoalan. Mantan Kepala Cabang itu menuturkan, terdapat tunggakan gaji hingga Rp 8,7 juta ditambah insentif dan dana talangan senilai Rp 20,6 juta, sehingga total kewajiban perusahaan mencapai sekitar Rp 29 juta.
"Setelah ada mediasi, gaji sudah ditransfer Rp 8,7 juta. Sementara sisa dana talang dan insentif dijanjikan akan dibayar paling lambat minggu depan," ungkap Rendi.
Rendi menegaskan, dirinya tidak pernah merasa mendapat tekanan dari pihak perusahaan. Ia justru melihat adanya itikad baik manajemen untuk melunasi kewajiban. Namun ia juga menyoroti pentingnya kejelasan aturan ketenagakerjaan di internal perusahaan agar kasus serupa tidak berulang.
"Harapan saya, hak karyawan harus dihormati. Jangan sampai aturan baru diberlakukan tanpa sosialisasi, apalagi kalau sampai merugikan. Semoga komitmen pembayaran bisa ditepati," tegasnya.
Sebelumnya, mencuat isu bahwa manajemen Honda Amarta Padalarang kerap terlambat membayarkan gaji, mengubah sistem kerja secara sepihak tanpa kejelasan, hingga mengutak-atik insentif tanpa dasar aturan tertulis. Praktik ini disebut-sebut merugikan pekerja dan berpotensi melanggar hak normatif.
Disnaker KBB yang turun tangan dalam mediasi menilai, penyelesaian kasus ini menjadi contoh bahwa mekanisme hukum ketenagakerjaan harus menjadi rujukan utama, bukan sekadar polemik di ruang publik. Meski demikian, penyelesaian damai ini tidak menutup ruang kritik terhadap perusahaan yang dituntut lebih transparan dan konsisten dalam menerapkan kebijakan bagi para karyawannya.
Kini, mata publik masih menunggu realisasi janji pelunasan dana talang dan insentif senilai lebih dari Rp 20 juta yang dijanjikan perusahaan. Apabila komitmen tersebut tidak ditepati, bukan tidak mungkin kasus ini kembali mengemuka sebagai bukti lemahnya perlindungan hak pekerja di level perusahaan swasta daerah.
Jurnalis: AC
No comments