Sinte: Ganja Sintetis padahal Zat-Zat Kimia yang Disintesiskan

Koran patroli.com. Sinte adalah slang untuk bahan mabokan yang mengandung AB-CHMINACA, 5-fluoro-ADB, FUB-AMB, dan varian-variannya. Zat ini biasanya dilekatkan pada tembakau atau cairan (liquid) untuk rokok elektrik.

Dua tahun berturut-turut, pada 2017 dan 2018, Menteri Kesehatan RI mengeluarkan peraturan yang memasukkan zat-zat tersebut dan varian hasil pengembangannya ke dalam Daftar Narkotika Golongan I sesuai UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Narkoba yang berada dalam golongan ini hanya boleh dimanfaatkan untuk kepentingan IPTEK. Di luar itu, kriminal!

Istilah “sinte” saya rasa lebih tepat ketimbang “ganja sintetis”. Karena mendengar nama itu saya langsung menuduh, ganja sintetis adalah ganja yang dibuat dari bahan kimia buatan bukan tanaman. Padahal menurut beberapa konsumen yang saya tanyai, khasiat ganja dan sinte berbeda.

Saya tidak akan menggambarkan efek ganja karena tanaman ini memang lebih umum ketimbang sinte. BNN (2017) memperkirakan 1,7 jutaan penduduk Indonesia pernah isap ganja dalam setahun terakhir. Menggunakan nama “ganja sintetis” menurut saya merupakan strategi pemasaran saja, menumpang popularitas ganja di Indonesia.

Journal of Medical Toxicology pada Desember 2016 melansir laporan dari Rachelle Abouchedid dkk. yang kebanyakan bekerja di Departemen Toksikologi Klinis sebuah yayasan di London, Inggris. Mereka melaporkan efek yang dialami konsumen sinte di antaranya paranoia, kecemasan yang hebat, mual, muntah, kebingungan, koordinasi otak untuk menggerakkan tubuh yang buruk, kejang, dan jantung berdebar.

Desakan yang kuat untuk mengonsumsi sinte lagi, gejala putus zat, dan suges yang terus-menerus juga mereka laporkan dalam jurnal tersebut.
Seperti itukah efek konsumsi ganja?

Zat psikokatif ganja adalah delta-9-tetrahydrocannabinol (THC), sementara tak satu pun sinte yang memiliki kandungan itu. Sinte memang sengaja dirancang untuk bisa mengikat reseptor ganja di otak seperti yang dilakukan THC dari tanaman. Sejumlah literatur juga menggunakan istilah ganja sintetis. Tapi kebanyakan menyatakan, analog sintetis ini mengikat reseptor ganja di otak secara lebih kuat dan berlebihan.

Selain itu tahun lalu, Badan POM AS (FDA) mengeluarkan peringatan akan risiko kesehatan yang tinggi dari produk-produk ‘ganja sintetis’ yang mengandung racun tikus. Racun bernama brodifacoum itu sengaja ditambahkan karena dianggap bisa membuat efek narkoba itu bertahan lebih lama. Dalam peringatan tersebut, FDA menyatakan keracunan zat ini telah mengakibatkan kematian dan kerusakan organ tubuh yang parah.

Kasus yang heboh dari konsumsi sinte adalah waktu seorang pilot terekam CCTV menunjukkan perilaku aneh saat melewati bagian keamanan di Bandara Juanda Surabaya, Desember 2016 lalu. Sang pilot juga meracau di kokpit pesawat yang terdengar ke kabin sehingga membuat sebagian penumpang meninggalkan pesawat karena takut. Mereka tahu, pilotnya mabuk dan meminta maskapai segera mengganti pilot itu.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) melaporkan kematian akibat konsumsi sinte meningkat tiga kali lipat antara 2014 dan 2015. Di sisi lain, CDC melaporkan kematian akibat konsumsi ganja pada periode yang sama tetap tidak ada. Saat itu, ganja sudah bisa dikonsumsi di 23 negara bagian AS, baik yang bersifat medis juga rekreasional.

Saya belum pernah mendengar kematian akibat konsumsi sinte di Indonesia. Tapi bukan berarti narkoba ini tidak berbahaya. Sejumlah orang yang saya kenal akrab dengan konsumsi sinte menyatakan hal sama dengan apa yang dilaporkan Abouchedid dkk. Tiga tahun terakhir, Rumah Cemara juga merawat orang-orang yang ketagihan sinte.

Persoalannya, menyintesiskan zat-zat kimia untuk pengembangan sinte bisa sangat cepat dilakukan. Menteri kesehatan boleh saja tiap tahun menambah varian zat tersebut ke dalam Daftar Narkotika Golongan I supaya konsumen maupun produsennya bisa dijerat hukum pidana. Tapi sebelum penggolongan itu diterapkan, sudah berapa banyak varian sinte baru yang beredar dan dikonsumsi tanpa bisa dijerat hukum karena tidak terdaftar dalam UU itu?

Selain aman dari ancaman hukum pidana, bisnis komoditas ini jelas menguntungkan. Mendompleng popularitas ganja dengan menamakannya “ganja sintetis” tentu menggiurkan bagi jutaan konsumen ganja di Indonesia. Sama seperti saya, mungkin mereka menganggap efeknya seperti ganja, hanya saja dibuat dari bahan sintetis. Jadi hukum pidana tidak akan bisa menyentuhnya.
Ini mabuk ganja legal!

Kesan itu yang sengaja ditampilkan produsen sebagai strategi pemasaran sehingga bisnis sinte laku tanpa persoalan hukum. Ancaman pidana baru akan dihadapi kalau perpaduan zat-zat itu telah ditetapkan menteri kesehatan masuk Daftar Narkotika Golongan I.

Karena mengincar jutaan konsumen ganja di Indonesia sebagai pasar, maka menurut saya yang pertama perlu dilakukan adalah berhenti menyebutnya sebagai ganja sintetis. Sebut saja sinte!
Kedua, zat-zat ini telah dilaporkan menyebabkan kematian akibat konsumsinya. Sementara, belum pernah ada, baik di AS maupun di Indonesia, laporan kematian akibat mengisap ganja. Maka demi melindungi keselamatan dan kesehatan warganya, Pemerintah RI perlu mempertimbangkan agar ganja bisa resmi dikonsumsi.

Sudah banyak literatur yang mengungkap manfaat ganja untuk pengobatan. Jadi kalau sungguh ingin melindungi masyarakat dari bahaya konsumsi sinte, pemerintah bisa memulainya dengan mengeluarkan ganja dari Daftar Narkotika Golongan I. Sehingga ganja bisa dibudidayakan, diperoleh, dan dikonsumsi secara resmi melalui skema medis. Hal ini sudah dilakukan Thailand akhir tahun lalu.

Negara-negara lain di luar Asia sudah lebih dulu menggunakan skema ganja medis terutama untuk memberikan warganya alternatif konsumsi narkoba yang lebih aman ketimbang mengonsumsi zat-zat yang tidak jelas juntrungannya.

Lalu yang terakhir, untuk menumpas sindikat pasar gelap ganja yang di Indonesia beromzet Rp7,5 triliunan per tahun dan produsen sinte, pemerintah juga perlu mempertimbangkan untuk mengelola tata niaga ganja dalam negeri seperti yang dilakukan Uruguay. Selain meruntuhkan pasar gelap narkoba, kebijakan ini juga bisa memaksimalkan potensi pemanfaatan ganja di masyarakat.

Saya sih tidak setuju kalau negara menarik cukai dari konsumsi ganja seperti yang dilakukan di sejumlah negara bagian AS atas konsumsi ganja untuk rekreasi (alasannya silakan baca di sini). Walaupun dari pendapatan itu negara bisa memperbaiki sekolah, fasilitas kesehatan, dan infrastruktur kota yang rusak di wilayah tersebut. Pasar gelap ganja mendapat laba karena tanaman ini dilarang. Maka, supaya ganja tidak bernilai ekonomi tapi tetap bisa dimanfaatkan warga atas segala potensinya, cabut saja pelarangannya.

Bila budi dayanya tidak dilarang, ganja boleh ditanam siapapun di pekarangan rumahnya. Ketiadaan larangan tidak serta-merta akan membuat semua orang menanam tanaman ini sebagaimana mungkin dikhawatirkan banyak pihak. Toh sebelum pemanfaatan ganja dilarang dalam UU Narkotika 1976, tidak semua orang Aceh menanam ganja.

Lalu ketika ganja sudah dianggap sebagai tanaman liar, maka tidak akan ada lagi yang berminat mengomersialkannya karena sudah tidak bernilai secara ekonomi.
Walaupun krokot (Portulacaceae), kelor (Moringa oleifera), atau alang-alang (Imperata cylindrical), contohnya, memiliki khasiat pengobatan, keberadaannya kerap dianggap mengganggu keindahan atau mengganggu pertumbuhan tanaman lain sehingga dicabuti dan dibuang. Inilah yang diharapkan dari penetapan ganja sebagai tanaman pekarangan dalam jangka panjang.

Dengan tiadanya ancaman pidana atas pemanfaatan ganja, maka para produsen sinte akan berpikir ulang untuk berbisnis produk yang dibuat seakan khasiatnya sama dengan ganja itu. Dari hampir seluruh kajian mengenai sinte, belum ada sintesis zat-zat kimia tersebut yang bisa mengikat reseptor ganja di otak seperti yang dilakukan THC, zat psikoaktif tanaman ganja.

Jadi kalau ganja bisa secara resmi dimanfaatkan masyarakat, maka sindikat gelap narkoba juga dengan sendirinya akan mengurungkan niatnya menghasilkan zat dengan efek mirip ganja. Produk hasil investasi tersebut tentu tidak akan diminati masyarakat, karena masyarakat akan lebih memilih ganja. Bagaimana pun, otoritas-otoritas kesehatan seperti CDC di AS tidak pernah melaporkan adanya kematian akibat kelebihan konsumsi ganja.

No comments

Powered by Blogger.